Friday, February 14, 2014

STUDI KASUS SINDROMA KORONER AKUT (SKA)



Oleh : Inggriane P. Dewi

Tanggal 17 Maret 2011, Seora
ng pasien Tn D usia 41 tahun datang ke UGD RSHS pukul 12.00 WIB dengan keluhan rasa tidak nyaman di dada kiri.
Hasil anamnesa didapatkan :
Penderita mengeluh rasa tidak nyaman di dada kiri sejak ± 11 jam SMRS., hilang timbul, selama ±30 menit, hilang dengan istirahat. Tidak ada keringat dingin atau pun perasaan seperti ditekan, tidak ada mual-muntah atau nyeri ulu hati. Tidak ada penjalaran rasa nyeri ke punggung, lengan maupun leher, Penderita masih bisa bermain voli dan badminton diantara rasa tidak nyaman di dada. Tidak ada sesak nafas, panas badan atau dada berdebar.
Keluhan serupa juga dirasakan 2 minggu SMRS, berobat ke RS di Purwakarta dikatakan ada penyakit jantung, dan mendapat terapi tromboaspilet, clopidogrel, ranitidin, dan fasorbid. Kemudian pasien berinisiatif sendiri memeriksakan diri ke RS Harapan Kita dan dikatakan tidak ada penyakit jantung. Penderita kemudian dikonsulkan ke bagian psikiatri dan mendapat obat Alprazolam.
Riwayat darah tinggi diketahui 2 tahun yang lalu, TD tertinggi 190/… pasien minum obat noperten,  amlodipin, tromboaspilet, fasorbid, tapi tidak minum obat teratur. Riwayat kencing manis tidak ada, Riwayat kolesterol tinggi tidak ada. Didapatkan riwayat merokok sejak muda sudah berhenti 4 tahun ini. Tidak ada riwayat sakit jantung pada keluarga.


EKG 1 (12.42 WIB)
Irama sinus, axis Normal, QRS rate 78 x/mnt, gel P 0,03”, 0,1 mv , PR interval 0,14’’ QRS duration 0.08”, ST segmen isoelektrik.  Q pathologis (+) di lead III,  T inverted (-)


PEMBAHASAN
Oklusi total yang terjadi lebih dari 4–6 jam pada arteri koroner akan menyebabkan nekrosis miokard yang irreversibel, dengan gambaran Q-MCI Namun, dengan terapi reperfusi yang cepat dan adekuat dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas .(Harrisons, 2000; Raymond J. Gibbons & Valentin Fuster, april 6, 2006)
Dalam menangani SKA dapat dibagi menjadi:
1.        Fase sebelum masuk rumah sakit (prehospital stage), yang kemungkinan tanpa komplikasi atau sudah ada komplikasi, harus diperhatikan dengan seksama.
2.        Fase masuk rumah sakit (hospital stage) yang dimulai di Instalasi Gawat Darurat (IGD) dengan tujuan terapi untuk: pencegahan terjadinya IMA, pembatasan luasnya infark, dan pemeliharaan fungsi jantung (miokard). 1,5,6
Kemudian dilanjutkan perawatan di ruang intensif kardiovaskular (RIK), dengan lebih lanjut memperhatikan sasaran terapi berupa: (1) pencapaian secara komplit dan cepat reperfusi aliran darah daerah infark; dan (2) menurunkan risiko berulannya IMA dengan berbagai terapi medikamentosa.
(Raymond J. Gibbons & Valentin Fuster, april 6, 2006). Sebelum menindaklanjuti pengobatan SKA, Braunwald membagi klasifikasi APTS menjadi :
1.         Berat – ringannya SKA
a.       Kelas I: Serangan baru, yaitu kurang dari 2 bulan progresif, berat, dengan nyeri pada waktu istirahat, atau aktivitas sangat ringan, terjadi >2 x/hari
b.      Kelas II: Sub-akut, yakni sakit dada antara 48 jam sampai dengan 1 bulan pada waktu istirahat.
c.       Kelas III: Akut, yakni kurang dari 48 jam.
2.      Klinis
a.       Klas A: Sekunder, dicetuskan oleh hal-hal di luar koroner, seperti anemia, infeksi, demam, hipotensi, takiaritmi, tirotoksikosis, dan hipoksia karena gagal napas.
b.      Kelas B: Primer.
c.       Klas C: Setelah infark (dalam 2 minggu IMA).
3.      Intensitas terapi
a.       Belum pernah diobati.
b.      Dengan anti angina (penghambat beta adrenergik, nitrat, dan antagonis kalsium )
c.      Antiangina dan nitrogliserin intravena.
Tahap Awal dan Cepat Pengobatan Pasien SKA
1.       Oksigenasi
Langkah ini segera dilakukan karena dapat membatasi kekurangan oksigen pada miokard yang mengalami cedera serta menurunkan beratnya ST-elevasi. Ini dilakukan sampai dengan pasien stabil dengan level oksigen 2–3 liter/menit secara kanul hidung.
(Raymond J. Gibbons & Valentin Fuster, april 6, 2006)

2.      Nitrogliserin (NTG)
Digunakan pada pasien yang tidak hipotensi. Mula-mula secara sublingual (SL) (0,3 – 0,6 mg ), atau aerosol spray. Jika sakit dada tetap ada setelah 3x NTG setiap 5 menit dilanjutkan dengan drip intravena 5–10 ug/menit (jangan lebih 200 ug/menit ) dan tekanan darah sistolik jangan kurang dari 100 mmHg. Manfaatnya ialah memperbaiki pengiriman oksigen ke miokard; menurunkan kebutuhan oksigen di miokard; menurunkan beban awal (preload) sehingga mengubah tegangan dinding ventrikel; dilatasi arteri koroner besar dan memperbaiki aliran kolateral; serta menghambat agregasi platelet (masih menjadi pertanyaan).
3.      Morphine atau Diazepam
Obat ini bermanfaat untuk mengurangi kecemasan dan kegelisahan; mengurangi rasa sakit akibat iskemia; meningkatkan venous capacitance; menurunkan tahanan pembuluh sistemik; serta nadi menurun dan tekanan darah juga menurun, sehingga preload dan after load menurun, beban miokard berkurang, pasien tenang tidak kesakitan. Dosis 2 – 4 mg intravena sambil memperhatikan efek samping mual, bradikardi, dan depresi pernapasan
4.      Aspirin
Harus diberikan kepada semua pasien SKA jika tidak ada kontraindikasi (ulkus gaster, asma bronkial) . Efeknya ialah menghambat siklooksigenase –1 dalam platelet dan mencegah pembentukan tromboksan-A2. Kedua hal tersebut menyebabkan agregasi platelet dan konstriksi arterial .
Penelitian ISIS-2 (International Study of Infarct Survival) menyatakan bahwa Aspirin menurunkan mortalitas sebanyak 19%, sedangkan “The Antiplatelet Trialists Colaboration” melaporkan adanya penurunan kejadian vaskular IMA risiko tinggi dari 14% menjadi 10% dan nonfatal IMA sebesar 30% 1,5,6
Dosis yang dianjurkan ialah 160–325 mg perhari, dan absorpsinya lebih baik “chewable” dari pada tablet, terutama pada stadium awal. Aspirin suppositoria (325 mg) dapat diberikan pada pasien yang mual atau muntah. Aspirin boleh diberikan bersama atau setelah pemberian GPIIb/IIIa-I atau UFH (unfractioned heparin). Ternyata efektif dalam menurunkan kematian, infark miokard, dan berulangnya angina pectoris.
5.      Antitrombolitik lain: Clopidogrel , Ticlopidine Derivat tinopiridin ini menghambat agregasi platelet, memperpanjang waktu perdarahan, dan menurunkan viskositas darah dengan cara menghambat aksi ADP (adenosine diphosphate) pada reseptor platelet., sehingga menurunkan kejadian iskemi. Ticlopidin bermakna dalam menurunkan 46% kematian vaskular dan nonfatal infark miokard. Dapat dikombinasi dengan Aspirin untuk prevensi trombosis dan iskemia berulang pada pasien yang telah mengalami implantasi stent koroner. Pada pemasangan stent koroner dapat memicu terjadinya trombosis, tetapi dapat dicegah dengan pemberian Aspirin dosis rendah (100 mg/hari) bersama Ticlopidine 2x 250 mg/hari. Colombo dkk. memperoleh hasil yang baik dengan menurunnya risiko trombosis tersebut dari 4,5% menjadi 1,3%, dan menurunnya komplikasi perdarahan dari 10–16% menjadi 0,2–5,5%21. Namun, perlu diamati efek samping netropenia dan trombositopenia (meskipun jarang) sampai dengan dapat terjadi purpura trombotik trombositopenia sehingga perlu evaluasi hitung sel darah lengkap pada minggu II – III.
Clopidogrel sama efektifnya dengan Ticlopidine bila dikombinasi dengan Aspirin, namun tidak ada korelasi dengan netropenia dan lebih rendah komplikasi gastrointestinalnya bila dibanding Aspirin, meskipun tidak terlepas dari adanya risiko perdarahan. Didapatkan setiap 1.000 pasien SKA yang diberikan Clopidogrel, 6 orang membutuhkan tranfusi darah. Clopidogrel 1 x 75 mg/hari peroral, cepat diabsorbsi dan mulai beraksi sebagai antiplatelet agregasi dalam 2 jam setelah pemberian obat dan 40–60% inhibisi dicapai dalam 3–7 hari .
Penelitian CAPRIE (Clopidogrel vs ASA in Patients at Risk of Ischemic Events ) menyimpulkan bahwa Clopidogrel secara bermakna lebih efektif daripada ASA untuk pencegahan kejadian iskemi pembuluh darah (IMA, stroke) pada aterosklerosis (Product Monograph New Plavix).
Penanganan SKA Lebih Lanjut
1.      Heparin
Obat ini sudah mulai ditinggalkan karena ada preparat-preparat baru yang lebih aman (tanpa efek samping trombositopenia) dan lebih mudah pemantauannya (tanpa aPTT). Heparin mempunyai efek menghambat tidak langsung pada pembentukan trombin, namun dapat merangsang aktivasi platelet. Dosis UFH yang dianjurkan terakhir (1999) ialah 60 ug/kg bolus, dilanjutkan dengan infus 12 ug/kg/jam maksimum bolus , yaitu 4.000 ug/kg, dan infus 1.000 ug/jam untuk pasien dengan berat badan < 70 kg 1,5,6
2.      Low Molecular Heparin Weight Heparin ( LMWH). Diberikan pada APTS atau NSTEMI dengan risiko tinggi. LMWH mempunyai kelebihan dibanding dengan UFH, yaitu mempunyai waktu paruh lebih lama; high bioavailability; dose – independent clearance; mempunyai tahanan yang tinggi untuk menghambat aktivasi platelet; tidak mengaktivasi platelet; menurunkan faktor von Willebrand; kejadian trombositopenia sangat rendah; tidak perlu pemantauan aPTT ; rasio antifaktor Xa / IIa lebih tinggi; lebih banyak menghambat alur faktor jaringan; dan lebih besar efek hambatan dalam pembentukan trombi dan aktivitasnya. (Nawawi et al., 2006; Raymond J. Gibbons & Valentin Fuster, april 6, 2006). Termasuk dalam preparat ini ialah Dalteparin, Enoxaparin, dan Fraxi-parin. Dosis Fraxiparin untuk APTS dan NQMCI: 86 iu antiXa/kg intravena bersama Aspirin (maksimum 325 mg) kemudian 85 iu antiXa/kg subkutan selama 6 hari : 2 x tiap 12 jam (Technical Brochure of Fraxiparin . Sanofi – Synthelabo).
3.      Warfarin
Antikoagulan peroral dapat diberikan dengan pemikiran bahwa pengobatan jangka panjang dapat memperoleh efek antikoagulan secara dini. Tak ada perbedaan antara pemberian Warfarin plus Aspirin dengan Aspirin saja (CHAMP Study, CARS Trial) sehingga tak dianjurkan pemberian kombinasi Warfarin dengan Asparin 1,5,6
4.      Glycoprotein IIb/IIIa Inhibitor (GPIIb/IIIa-I) Obat ini perlu diberikan pada NSTEMI SKA dengan risiko tinggi, terutama hubungannya dengan intervensi koroner perkutan (IKP). Pada STEMI , bila diberikan bersama trombolitik akan meningkatkan efek reperfusi (studi GUSTO V dan ASSENT-3). GUSTO V membandingkan Reteplase dengan Reteplase dan Abciximab (GPIIb/IIIa-I) pada IMA, sedangkan ASSENT–3 membandingkan antara Tenecteplase kombinasi dengan Enoxaparin atau Abciximab dengan Tenecteplase kombinasi UFH pada IMA , yang ternyata tak ada perbedaan pada mortalitas.
Efek GPIIb/IIIa-I ialah menghambat agregasi platelet tersebut dan cukup kuat terhadap semua tipe stimulan seperti trombin, ADP, kolagen, dan serotonin 17. Ada 3 perparat, yaitu Abciximab, Tirofiban, dan Eptifibatide yang diberikan secara intravena. Ada juga secara peroral, yakni Orbofiban, Sibrafiban, dan Ximilofiban. GPIIb/IIIa-I secara intravena jelas menurunkan kejadian koroner dengan segera, namun pemberian peroral jangka lama tidak menguntungkan, bahkan dapat meningkatkan mortalitas.
Secara invitro, obat ini lebih kuat daripada Aspirin 3,22 dan dapat digunakan untuk mengurangi akibat disrupsi plak pada tindakan IKP1,25,26. Banyak penelitian besar telah dilakukan, baik GPIIb/IIIa-I sendiri maupun kombinasi dengan Aspirin, Heparin, maupun pada saat tindakan angioplasti dengan hasil cukup baik. Namun, tetap perlu diamati komplikasi perdarahannya dengan menghitung jumlah platelet (trombositopenia) meskipun ditemukan tidak serius. Disebut trombositopenia berat bila jumlah platelet < 50.000 ml 1,5,6,7
Dasgupta dkk. (2000) meneliti efek trombositopenia yang terjadi pada Abciximab tetapi tidak terjadi pada Eptifibatide atau Tirofiban dengan sebab yang belum jelas. Diduga karena Abciximab menyebabkan respons antibodi yang merangsang kombinasi platelet meningkat dan menyokong terjadinya trombositopenia. Penelitian TARGET menunjukkan superioritas Abciximab dibanding Agrastat dan tidak ada perbedaan antara intergillin dengan derivat yang lain. Penelitian ESPRIT memprogram untuk persiapan IKP, ternyata hanya nenguntungkan pada grup APTS 1,5,6,7
5.      Direct Trombin Inhibitors. Hirudin, yaitu suatu antikoagulan yang berisi 65 asam amino polipeptida yang mengikat langsung trombin. GUSTO IIb telah mencoba terapi terhadap 12.142 pasien APTS/NSTEMI dan STEMI, namun tidak menunjukan perbedaan yang bermakna terhadap mortalitas (Kyuhyun Wang, Richard W. Asinger, & Henry J.L. Marriott, 2003)
6.      Trombolitik
Dengan trombolitik pada STEMI dan left bundle branch block (LBBB) baru, dapat menurunkan mortalitas dalam waktu pendek sebesar 18% 29, namun tidak menguntungkan bagi kasus APTS dan NSTEMI 3. Walaupun tissue plasminogen activator (t-PA) kombinasi dengan Aspirin dan dosis penuh UFH adalah superior dari Streptokinase, hanya 54% pasien mencapai aliran normal pada daerah infark selama 90 menit 30,31,32,33. Trombolitik terbaru yang diharapkan dapat memperbaiki patensi arteri koroner dan mortalitas ialah Reteplase (r-PA) dan Tenecteplase (TNK-t-PA), karena mempunyai waktu paruh lebih panjang daripada t-PA. Namun, ada 2 penelitian besar membandingkan t-PA dengan r-PA plus TNK-t-PA, namun ternyata tidak ada perbedaan dan risiko perdarahannya sama saja .
(Kyuhyun Wang et al., 2003; Nawawi et al., 2006; Raymond J. Gibbons & Valentin Fuster, april 6, 2006)
7.      Obat-obat Lain.
Penghambat Beta Andrenergik, contohnya  Bisoprolol 1x1,25 mg .Efeknya ialah menurunkan frekuensi debar jantung sehingga menyebabkan waktu diastolik lebih lama; menurunkan kontraktilitas miokard dan beban jantung; menghambat stimulasi katekolamin; serta menurunkan pemakaian oksigen miokard. Obat ini baik untuk APTS / NSTEMI dan dapat menurunkan luasnya infark, reinfark, serta mortalitas. Tetapi ingat kontraindikasinya, seperti bradikardi, blok AV, asma bronkial, atau edema paru akut .
Antagonis Kalsium Intercep Study tidak melihat penurunan mortalitas dengan obat tersebut , namun dapat digunakan pada APTS/NSTEMI jika ada kontraindikasi penghambat Beta adrenergik. Diltiazem jangan diberikan pada disfungsi ventrikel kiri dan atau gagal jantung kongestif (GJK).
Penghambat Enzim Konversi Angiotensin. Boleh diberikan pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri (fraksi ejeksi 75 tahun), sebab risiko kematian cukup tinggi dengan trombolitik


0 komentar:

Post a Comment